Kota Kapur Inscription is the result found in archaeological excavations in the west coast island of Bangka. This inscription is called according to the invention is a small hamlet called "Kotakapur". The inscription on the stele is written in script and use the language Pallawa Kuna Malays, and is one of the oldest written document for the language of Malays. Inscription was discovered by J.K. van der Meulen in December 1892. This inscription was first analyzed by H. Kern, an expert in epigraphy Dutch national who worked at the Batavia Genootschap Bataviaasch. At first he thought "Srivijaya" is the name of a king. George Coedes who later contributed revealed that Srivijaya was the name of a great kingdom in Sumatra in the 7th century AD, the empire strong and never mastered the western Archipelago, Peninsular Malaysia and southern Thailand.
This inscription carved on an obelisk-shaped stone faceted in terms of size, height 177 cm, 32 cm wide at the base, and 19 cm at the top. Kota Kapur Inscription is an inscription of Sriwijaya was first discovered, long before Hill Kedukan inscription that was discovered on November 29, 1920, and Talang Tuo Inscription found in a few days before the November 17, 1920. Kota Kapur Inscription This, along with archaeological discoveries of others in the area, is a relic of Sriwijaya and open new insight about his time in the Hindu-Buddhist period. This inscription is also opening picture of the pattern of people who live in the 6th century and 7th century by the Hindu religious background.
Kota Kapur Inscription is one of five stone inscription made by the curse Dapunta Hiyaŋ, a ruler of Srivijaya Kadātuan. This is the full contents of Kota Kapur Inscription, as transcribed and ditejemahkan by Coedes
Keberhasilan !
Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak;
yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka
dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang jahat; seperti mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja,
saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar pula mereka mati kena kutuk. Tambahan pula biar mereka yang menghasut orang
supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak berbakti, yang tak setia pada saya, biar pelaku perbuatan tersebut
mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya
dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah
kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya.
No comments:
Post a Comment